1511248136614-01

Satu minggu yang lalu ada kabar mengejutkan tentang berita seorang guru SMP yang menghukum siswanya dengan menggunakan cara-cara berlebihan. Meskipun tujuan guru untuk mendisiplinkan dengan punishment (hukuman) yang secara psikologis dibenarkan namun untuk cara satu itu dapat dibilang tindakan berlebihan.

Seorang Guru SMP Negeri 55 Surabaya Tega Menendang dan Memukul Siswanya

Pada kesempatan ini, saya akan menuliskan singkat dengan bahasa sederhana mengenai tindakan hukuman kepada anak.

Dalam psikologi punishment sering disebut dengan hukuman, dalam konteks pendidikan dan pengajaran bertujuan agar anak kembali menunjukkan tindakan positif atau menghentikan tindakan negatifnya dengan cara verbal maupun fisik. Membentak, memarahi sebagai cara verbal, sedang tindakan ringan menepuk dengan tangan sampai yang paling keras dengan pemukulan adalah contoh fisik. Mengerjakan tugas, menghafal dan merangkum adalah contoh lain tindakan hukuman paling dapat diterima.

Kalau kita tengok masa kecil di era 80-an pastinya tindakan mendidik anak dengan sedikit kekerasan fisik merupakan hal lumrah dan biasa saja. Orang tua melakukan tindakan keras ke anak atau guru di sekolah memukul dengan penggaris kayu atau penghapus papan tulis, tindakan itu sering terjadi dan saksikan sebagai tindakan lumrah belaka.

Namun seiring perjalanan waktu, dengan pengetahuan pendidikan yang semakin maju, maka hal tersebut tidak dibenarkan. Sebab adanya pandangan psikologi terkini menyatakan bahwa tindakan kekerasan akan berdampak negatif bagi perkembangan kejiwaan anak nantinya. Bahkan dalam tindakan ekstrem anak dengan pengalaman buruk kekerasan akan membawa kepada tindakan sadis pada keadaan yang sama kepada pihak lain di waktu yang akan datang. Itulah yang kemudian ditakutkan. Oleh karenanya tindakan itu kemudian tidak dibenarkan diranah pendidikan baik di rumah maupun sekolah.

Memang pada dasarnya hukuman dan tindakan untuk mendisiplinkan siswa atau anak, sebagai satu tindakan perlu. Alasan logisnya mendisiplinkan dan membuat efek jera agar tidak mengulanginya diwaktu mendatang.

Meski begitu, penerapan yang tidak pas justru membuat tujuan mendisiplinkan anak menjadi tindakan kontraproduktif alias sia-sia. Anak jadi malah apatis atau masa bodoh dan semakin menantang kalau terlalu sering mendapat hukuman kekerasan fisik. Dan sebaliknya ada yang justru mentalnya menjadi down menjadi serba tertutup, enggan dan menarik diri dan yang paling parah jika ngambek tidak mau sekolah atau melakukan kewajibannya dan tugasnya sebagai anak jika terjadi di rumah. Malah repot jadinya.

Tapi, bagaimanapun ketika anak di sekolah adalah tanggung jawab sepenuhnya guru. Meskipun begitu kesewenangan dalam mendidik perlu memperhatikan norma pedagogis/pengajaran yang berlaku. Perubahan jaman telah mengubah pula pola pikir dan tindakan. Bahwa, hukuman fisik seperti era 80-an dianggap berlebihan dan sudah tidak relevan lagi.

Siswa dengan perilaku menyimpang sudah seharusnya dikasih peringatan. Dalam penerapannya, kadangkala masih berlaku guru sedikit membentak atau mencubit dan menjewer masih dikategorikan tindakan wajar dalam pengajaran di sekolah. Memang itu semua beralasan untuk kebaikan anak didik masa mendatang dan sebagai kewajiban guru di sekolah.

Kalau pengalaman saya sendiri sewaktu mengajar, anak-anak 10 tahun lalu dengan sekarang saja jauh bedanya. Semakin kesini semakin sulit. Itulah kenapa sekolah dan guru selalu melibatkan orangtua seperti pembentukan komite dan buku komunikasi siswa untuk memantau siswa baik di sekolah maupun di rumah.